Bak Harta Karun, Propolis Diburu saat Pandemi! Kok bisa?
PANDEMI COVID-19 yang tidak terkendali dan terus melonjak hingga saat ini membuat masyarakat terus mencari cara untuk meningkatkan imunitas tubuh. Sayur, buah, hingga suplemen kesehatan sangat laris manis dipasaran. Suplemen kesehatan seperti madu, Bee Pollen, Propolis, dan Royal Jelly banyak dicari walaupun harganya cukup terbilang mahal, terutama propolis. Hal tersebut dikarenakan banyak orang menduga propolis dapat menyembuhkan COVID-19 dikarenakan pada dasarnya propolis memiliki peran sebagai obat alami dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, anggapan propolis dapat menyembuhkan COVID-19 belum di klaim dan dibuktikan oleh para ahli. Apa itu propolis? Propolis merupakan nutraceutical dan sumber zat gizi alami dari substrat resin yang dikumpulkan oleh lebah madu (Apis mellifera) dari sari tunas daun dan kulit batang tanaman campuran enzim dan lilin sarang lebah (beeswax) yang sering ditemukan di beberapa negara seperti Brasil, Rusia, Indonesia, dan Selandia baru. Singkatnya, propolis merupakan getah yang dihasilkan lebah ketika mereka membuat madu. Propolis sering disebut sebagai lem lebah dikarenakan lebah menjadikan propolis sebagai perekat rongga pada sarang mereka agar rapat dan terlindungi dari mikroba serta hewan pemangsa. Propolis tentunya berbeda dengan madu, dari segi warna propolis di Indonesia umumnya berwarna cokelat, hitam, dan krem. Sementara warna propolis di Argentina biasanya berwarna merah dan hijau. Perbedaan warna tersebut dipengaruhi oleh lokasi dan juga jenis tanamannya. Lantas, mengapa propolis diburu saat pandemi? Menurut beberapa sejarah, sejak 300 SM propolis diketahui memiliki efek antiinflamasi sehingga sering diaplikasikan sebagai obat untuk menyembuhkan luka pada kulit. Tidak hanya itu, beberapa literatur juga mengatakan bahwa seiring penelitian maju dan berkembang, ditemukan beberapa senyawa bioaktif dan mikronutrien yang bernilai tinggi pada propolis. Senyawa bioaktif yang terkandung dalam propolis yaitu terpenoid, asam amino, steroid, dan polifenol seperti asam fenolat, flavonoid, beserta esternya. Sementara mikronutrien yang terkandung pada propolis meliputi vitamin (A, B, dan C), enzim suksinat dehidrogenase, dan mineral (Ca, Mg, Na, Fe, Mn, Cu, dan Zn). Kandungan-kandungan tersebut tentunya memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh salah satunya yaitu sebagai antioksidan dalam melawan radikal bebas karena adanya flavonoid. Kandungan senyawa bioaktif lainnya seperti phenolic, caffeic acid phenethyl ester, myricetin, dan berbagai mikronutrien yang terkandung pada propolis juga dapat memperkuat sistem imunitas tubuh sekaligus meringankan asma. Hal tersebut membuat propolis berpotensi untuk mencegah virus COVID-19 masuk ke dalam tubuh, namun sampai saat ini belum ada penelitian bahwa propolis efektif untuk melawan virus COVID-19. Selain kaya akan kandungan gizi dan senyawa bioaktif, propolis juga diteliti memiliki efek antimikroba, antivirus, antiparasit, antifungal, antiinflamasi, dan antitumor sehingga propolis dapat dikatakan memiliki proteksi antivirus terutama untuk rotavirus, herpes, dan influenza. Propolis yang beredar di pasaran umumnya berupa suplemen dalam bentuk kapsul, cairan (liquid), dan juga padatan. Propolis sendiri pada dasarnya memiliki ciri khas sendiri yakni aroma yang menyengat dan rasa yang cenderung pahit. Adanya ciri khas dan kandungan gizi serta senyawa bioaktif dari propolis tersebut dapat meningkatkan potensi propolis sebagai pangan fungsional terutama pada masa pandemi. Aplikasi propolis pada industri pangan saat ini mayoritas hanya berfokus pada pemanfaatan antimikroba dan antioksidan sebagai pengawet buatan. Senyawa yang terkandung dalam propolis termasuk ke dalam kategori Generally Recognized as Safe (GRAS) sehingga berpotensi dijadikan sebagai inovasi produk pangan fungsional untuk membuka peluang bisnis, memperluas pasar serta meningkatkan konsumsi propolis terutama di Indonesia. Pada dasarnya aplikasi propolis pada produk pangan harus melalui proses ekstraksi pelarut terlebih dahulu atau dengan kata lain tidak dapat digunakan dalam keadaan mentah dikarenakan tinggi kontaminan terutama kandungan lilin dan zat berbahaya lainnya. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan propolis sebagai pangan fungsional salah satunya yaitu ciri khas propolis sendiri yakni rasa pahit dan bau yang menyengat menyebabkan perubahan karakteristik sensori bagi produk pangan jika digunakan dalam konsentrasi ekstrak propolis yang tinggi. Menurut beberapa literatur, apabila ingin mengaplikasikan ekstrak propolis dengan konsentrasi yang tinggi dapat dilakukan metode enkapsulasi untuk melindungi senyawa bioaktif serta mencegah perubahan karakteristik sensori produk pangan. Hal tersebut dikarenakan adanya zat aktif yang terjebak ke dalam zat lain sehingga menghasilkan partikel dengan ukuran yang kecil (nano atau mikro). Aplikasi propolis pada produk pangan fungsional tentunya memerlukan proses penelitian lebih lanjut terutama dalam hal standardisasi komposisi serta pemilihan dosis agar dapat diaplikasikan dengan melihat dan mempertimbangkan kualitas serta kuantitas produk yang akan dikembangkan. Disamping itu, diperlukan evaluasi secara rutin baik dari segi biaya dan sensori bioaktivitasnya. (*) * Penulis : Alifah Cahyaningrum Program Studi     : S1 Teknologi Pangan Instansi           : Universitas Padjadjaran
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: